Reuni Alumni Angkatan 3 (15 September 2024)
Hello fellow!
Rasanya belum lama sejak kami semua menunggu dengan tidak sabar datangnya sabtu pagi. Saat kebanyakan orang masih leyeh-leyeh santai menikmati permulaan weekend, justru di saat itulah kami harus tetap bangun pagi dan bergegas, supaya nggak telat datang kuliah.
Masih segar pula di ingatan kami, betapa di hari pertama perkuliahan di tahun 2017, Kitab Suci kami masih rapi, dengan beberapa bagian halaman yang ‘lengket’ saking jarangnya dibuka, apalagi dibaca. Beda banget dengan kondisi Kitab Suci itu, tiga tahun kemudian di tahun 2020 saat kami lulus, karena sudah agak ‘keriting’ karena terlalu sering dibuka, serta ‘meriah’ penuh tanda stabilo warna-warni, garis-garis, juga berbagai notes di sisi-sisi kitab.
Hal istimewa lain yang sulit dilupakan, juga saat wisuda yang bertepatan dengan dimulainya wabah Covid-19 melanda dunia. Sehingga wisuda kami harus dilakukan secara on-line via zoom, meskipun kami semua berkemeja dan berkebaya, paling tidak tampak rapi dan anggun sebatas pas foto setengah badan.
Tanpa disangka baru setelah 4 tahun kemudian, kami bisa flashback dengan berjumpa lagi di kelas AG201A, dan menerima pengajaran dari Romo Hardijantan. Rasanya betul-betul gembira, dan sedikit terharu. Sayangnya hanya 20 orang saja yang bisa menghadiri Reuni KPKS Angkatan 3, pada hari Minggu 15 September 2024 lalu, karena bertepatan dengan long weekend.
Meski dengan suara kecil dan serak dan sesekali harus berhenti minum karena batuk, Romo Hardijantan membawakan materi pengajaran dengan sangat baik. Romo meminta kami semua menggambar emoji yang pas dengan suasana hati kami saat itu, lalu kami semua bergantian mensharingkan perasaan kami satu persatu. Romo berkata, hanya dengan “mengosongkan hati” melalui sharing di awal ini, barulah kami siap menerima pengajaran yang akan diberikan.
Tema pengajaran Romo hari itu adalah “Duc In Altum” (Bertolak ke tempat yang lebih dalam) yang diinspirasikan dari Lukas 5:1-11.
Pemuridan di masa Perjanjian Lama adalah murid mencari guru (contoh serupa tapi tidak sama adalah Elia-Elisa) dan masuk dalam tradisi “Murid-Cantrik”, yaitu murid hidup bersama dengan gurunya, sehingga murid tidak hanya belajar dari apa yang dikatakan oleh Sang Guru, tetapi juga belajar dari Pribadi Sang Guru itu sendiri, kebenaran-kebenaran yang tidak akan ditemukan di dalam buku dan tidak dapat diuji dengan ujian-ujian tertulis.
Tetapi di masa Perjanjian Baru, Yesus-lah yang memilih murid-murid-Nya. Yesus sangat selektif, Ia bahkan seringkali menolak orang-orang yang ingin menjadi murid-Nya. Bagi Yesus, arti PANGGILAN adalah untuk terus mengikuti Dia dalam hidup dan Perutusan-Nya, sehingga Ia menuntut KOMITMEN penuh dari para murid-Nya.
Saat Yesus meminta Simon Petrus yang sudah semalam-malaman tidak berhasil menangkap ikan, untuk “Bertolak ke tempat yang lebih dalam dan menebarkan jala”, Simon masih melakukan ‘tawar-menawar’ dengan Yesus, karena ragu dan enggan. Tetapi justru saat ia menuruti perintah Yesus, dan mendapati begitu banyak hasil yang secara manusia hampir mustahil terjadi, maka terjadi perubahan hati pada Simon. Ia tersungkur di hadapan Yesus dan mengakui ketidakberdayaannya sebagai manusia, dan mengakui ke-Allahan Yesus.
Dalam kehidupan modern saat ini, banyak orang mengajukan diri dalam pelayanan, tapi belum tentu dia secara pribadi mendapat tugas PERUTUSAN dari Allah. Sama seperti Simon Petrus, saat ia berusaha menangkap ikan dengan mengandalkan segala keahliannya sebagai nelayan, ia mengharapkan akan berhasil menjala banyak ikan. Tetapi usaha manusia sekeras apapun dengan prediksi setepat apapun, tetapi bila tanpa perkenanan dan persetujuan Allah, tentu akan sia-sia belaka.
Hanya setelah Simon Petrus resmi mendapat tugas PERUTUSAN dari Yesus, dan ia memilih untuk menjalankan sesuai petunjuk Yesus, barulah ia mendapat bukan hanya menghasilkan banyak ikan, tetapi sangat melimpah sampai-sampai jala hampir saja koyak dan perahu mereka hampir tenggelam.
Materi pengajaran hari ini, tentu menjadi refleksi berharga bagi kami para alumnus KPKS Angkatan 3. Setelah menyelesaikan kuliah selama tiga tahun, apakah kami berani ‘melangkah’ ke tempat yang lebih dalam? Berani melayani lebih dalam lagi, bukan dengan mengandalkan sedikit pengetahuan kami selama di KPKS, melainkan dengan mengikuti persis PERUTUSAN dan arahan dari Yesus sendiri. Tetapi bagaimana mengetahui persis apa kehendak Yesus, bila kami belum sungguh-sungguh mengalami perjumpaan pribadi dengan Sang Guru? Ini tentunya menjadi PR besar bagi kami semua. Bagaimana menjaga semangat kami untuk terus tekun mempelajari Kitab Suci, meski tidak lagi mendapat bimbingan dari para dosen seperti saat kuliah dulu.
Pengajaran berharga dan refleksi batin dari Romo ini, kemudian ditutup dengan perayaan Ekaristi Kudus. Sore itu, sama seperti Simon Petrus, kami-pun pulang ke rumah masing-masing dengan “perahu hati” yang penuh. Penuh dengan sukacita, penuh dengan pengetahuan iman yang baru serta penuh dengan kerinduan akan datangnya reuni berikutnya.
So farewell my friends, ‘till we meet again!
(Fransisca Lenny)